Kamis, 18 Februari 2010

SEBESAR KASIR sekecil kita

Gak tau kenapa, tiba-tiba aja gue pengen nulis cerita kecil ini.
Bukan cerita yang terlalu istimewa memang, cuma sekedar menceritakan ulang sekilas pengalaman yang biasa, bahkan mungkin tanpa rasa.
Biasanya gue gak terlalu peduli kalo belanja di supermarket, swalayan, hypermart atau sejenisnya. Sesampainya di tempat pembayaran, seangkuh itu juga gue keluarin dompet, uang, kartu kredit atau kartu debit buat melunasi angka-angka yang tertera di layar dari perhitungan si kasir.
Tapi hari ini, ditemenin ibu, gue gak sedikitpun mengambil dompet dan lembaran uang di dalamnya. Ibu menanggung semua beban belanja yang kami beli buat acara agustusan di lingkungan kampung kami.
Di meja kasir itu, gue Cuma berdiri melihat si kasir menghitung belanjaan, sesekali melihat kasir yang lain, yang dengan serius, bahkan sedikit tegang memasukkan angka-angka pembelian barang-barang. Sesekali mas kasir di depan gue, melap keringatnya yang entah kenapa, bercucuran di dahinya.
Hari ini memang cuaca sangat panas, malam hari sekalipun. Dan keringat si kasir itu membawa bayangan gue melayang jauh, memasuki mas kasir yang kurus kecil, berseragam hitam putih dengan potongan serius menghitung jumlah belanjaan.
Apa jadinya kalo gue yang ada di posisinya ?
Menghadapi puluhan bahkan ratusan orang yang hilir mudik belanja, menghabiskan ratusan bahkan jutaan rupiah hanya sekali belanja.
Sesekali pikiran ini menyentil, berapa ya gajinya mas kasir ini sebulan?.
Apa rasanya setiap hari, setiap waktu berjibaku dengan rupiah yang dibelanjakan di depan matanya. Yang bahkan mungkin nominalnya lebih dari jumlah gaji si kasir sebulan.
Apa tak ada rasa iri?.
Atau jangan-jangan si mas kasir ini udah mati rasa.
Uang yang masuk di kotak hitung kasir memang sejatinya bukan uangnya. Tapi apa rasanya ya? Apa si mas kasir ni gak punya bayangan untuk belanja sebanyak kereta dorong penuh susu, indomie, chiki, roti, keju,selai dan makanan mahal lain.
Apa si mas kasir ini gak punya rasa dengki, melihat ratusan lembar uang ratusan ribu hanya hinggap di depan matanya?
Keringatnya memang masih belum berhenti mengalir, pendingin ruangan di pusat belanja itu tak mampu menghentikan laju ratusan kepala manusia yang bernafsu memborong semua barang.
Atau jangan-jangan, dalam hidup ini mestinya kita semua hanya jadi kasir.
Tempat untuk berhenti sejenak, menghitung materi yang sejatinya bukan punya kita. Hanya menghitungnya, memberikan nilainya dan pergi begitu saja.
Mas kasir itu tetap berdiri di tempatnya.
Sambil sesekali menyeka bulir keringatnya, mengulangi hitungannya, memberikan sapa dan menutupnya.
Terimakasih telah berbelanja… sampai bertemu kembali.

Malem tujuhbelasan
Hampir masuk Ramadhan


Selasa, 16 Februari 2010

mari pajaki PSK

Saya bukan pengguna PSK. 

Sumpah deh, seumur jagung usia saya, belum pernah sekalipun pake PSK. Kalaupun maen ke tempat "gitu-gitu" emang pernah. Sekali dalam hidup saya, itupun diajak temen-temen satu mess dulu, yang butek dan pengen cari hiburan di tempat "begitu".

Sampe di tempat itupun, saya cuma diam. Boro-boro mau pake PSK, lha wong minum-minuman beralkohol aja gak berani.

Akhirnya, di tempat "begituan" terpencil di ujung selatan daerah Banten sana, saya cuma duduk meringkuk sambil menghabiskan bergelas-gelas kratingdaeng dingin, satu-satunya minuman tak beralkohol yang dijual. Sambil mengumpati diri sendiri kenapa ikut-ikutan solider sampai ke tempat ini.

Bukannya sok suci, tapi emang duit di dompet cuma tinggal beberapa lembar uang ribuan, walaupun manager lapangan saya yang ikutan meramaikan kegiatan ini sesumbar untuk membayar semua tagihan.

Lagipula sebagai anak Jakarta, melihat wajah yang "dijual" disana tidak cukup untuk mengundang selera. Ditambah takut dosa sama takut dipenjara kalo kena grebek sama satpol PP.

Kehidupan para Pekerja Seks Komersial atau PSK memang serba salah.

Secara agama, norma dan susila, jelas para PSK tersebut tak bakal mendapat tempat di sisi-Nya, lha emang siapa yang meninggal?.

Tapi anehnya, di Batam sana, sayup-sayup terdengar rancangan peraturan untuk mengenakan pajak untuk para PSK.

Kontan teman-teman saya di kantor yang sekarang, berteriak lantang, waahh... pengeluaran bakalan nambah dong..!

Padahal jelas-jelas itu baru rancangan peraturan, yang belum tentu jadi. Walaupun sudah dirancang, juga belum tentu bakalan diterima. Kalaupun diterima, belum tentu mudah dilaksanakan.

Lha bagaimana cara mem-pajak-i PSK?

"Banyak jalan menuju nganu..", kata teman kantor saya yang jenis kelaminnya jadi-jadian.

Apa yang bakal dipajaki dari para PSK ini? Apakah "penghasilan"nya?  dan termasuk dalam pajak apa? Pajak penghasilan? pajak "makanan"? atau pajak "layanan"?.

Terus, pajaknya akan dibayar dalam bentuk apa? uang? atau "service" lebih mungkin? atau mungkin bisa langsung "dipungut" melalui para pegawai kantor pajak kepada "wajib pajak" yang notabene PSK? wah kalo yang terakhir bisa, yummy banget dong.

Sengaja saya kasih tanda kutip buat menegaskan kalo ini membingungkan. Sungguh, sampai blog ini diturunkan saya juga masih bingung dan berpikir kotor, eh maksudnya berpikir kurang jernih.

Padahal jelas-jelas pekerjaan mereka tidak pernah pakai properti milik negara. Kalaupun ada, faktanya justru para pegawai negara banyak yang memakai "propertinya" PSK.. hehe.

Lantas, Apa iya para PSK ini bakal disuruh bikin NPWP, seperti para pekerja lainnya. Yang setiap tahun mengisi SPT tahunan sebagai bagian dari kewajiban warga negara yang patuh dan berbudi luhur.

Berapa penghasilan harian mereka, eh maksudnya berapa tamu yang hadir, berapa akumulasi penghasilan tahunan dan berapa penghasilan tidak kena pajak dan berapa yang bakal dipajaki.

Wah ini pasti menarik. 

Kalau ini dijalankan saya yakin dampaknya akan sangat luar biasa. Negara bakal diuntungkan, karena sebagian besar properti yang digunakan para "wajib pajak" ini pasti punya pribadi, bisa dipakai berulang-ulang bahkan, dan uang yang dihasilkan sebagian mestinya masuk ke kas negara.

Dan di sisi lain, ini juga membuktikan kalo semua warga negara punya hak dan tanggung jawab yang sama. Apapun sukunya, agamanya, profesinya, posisi yang dimainkan eh maksudnya posisi di dalam perusahaan semua sama dalam kewajiban membayar pajak.

Toh ini juga bisa jadi bukti penting peran strategis dari para PSK yang selama ini sering dipandang sebelah mata.

Paling tidak, kalau profesi mereka dikenakan pajak, bisa jadi salah satu sumbangsih nyata dari para PSK untuk turut serta dalam pembangunan bangsa dan negara dari hasil tetesan keringetan eh, keringatnya.

Lunasi pajaknya, awasi pengguna (PSK) nya.

MERDEKA!

Ohhhhh yessss...

Ohhhhhh Nooooooo....

 

Senin, 15 Februari 2010

surganya gerobaknya

Gerobak itu rumahnya.

Seorang bapak tua dengan anaknya yang masih usia sekolah berjalan lantang mengelilingi rumah-rumah besar nan angkuh di Menteng sana.

Dia, sang kepala keluarga yang tak punya tempat singggah terpaksa memanfaatkan rimbunnya daun-daun di sekitaran Taman Suropati dan Kedubes Amerika hanya sekedar mencari nafas dan melupakan peluhnya.

Dunia memang punya ceritanya sendiri. Rumah-rumah tua nan angkuh hanya jadi saksi bisu para, maaf, gelandangan, yang hidup sepanjang jalanan jakarta.

Hari ini, sang bapak dan kedua anaknya yang masih berusia sekolah menyusuri rezeki di tempat dimana limbahan manusia terhormat melupakan apa yang telah mereka pakai atau makan.

Tak terbayang sehat, higienis atau bersih. 

Kata-kata itu mungkin juga tak pernah singgap di pikiran sang bapak. Anaknya yang beranjak dewasa mungkin hanya tahu bagaimana supaya mereka bisa bermain dan perutnya terisi.

Saya masih tak habis pikir bagaimana menikmati hidup dalam kotak kecil beroda dua, ditutup terpal dengan beberapa nyawa di dalamnya.

Padahal rumah 350 juta yang akan saya tempati pun masih juga dirasa banyak kekurangannya.

Aaaahh..., dunia memang selalu punya cerita.

Salut buat bapak dengan keluarga gerobaknya.

Semoga kotak lusuh dan terpal bekas itu nanti jadi saksi, bahwa seorang ayah telah menafkahi keluarganya dengan keringatnya sendiri, dengan kebersamaan keluarga yang begitu mereka nikmati.

rumahku surgaku....eh, ini untuk saya yang punya rumah harganya ratusan juta.

Gerobak si bapak sepertinya jauh lebih pantas untuk dibawa ke dalam Surga.

habis imlek tahun macan logam

malam hari

 

menikmati hidup

Kalaupun ada yang bilang hidup itu gampang, mungkin perlu dipikirin lagi.

Di depan Pasaraya Manggarai, setiap pagi ceria, ada ibu-ibu tua dengan selendang lusuhnya memohon kesediaan pengendara yang berhenti di lampu merah untuk sekedar berbagi rupiah.

Sempet kepikiran dimana keluarganya?. Apa gak kasian liat ibunya, eyang putrinya atau siapalah, hidup dari kerasnya jalan Jakarta?.

Kemiskinan kota emang masalah yang gak pernah selesai. 

Perempatan fly over Rawamangun juga jadi saksi bisu puluhan anak usia sekolah yang ngumpul dan menggantungkan hidupnya dari uluran rupiah pengendara. Bahkan tengah malem pun, mereka masih juga terjaga dan meminta.

Buat gue, pengendara motor yang tiap hari ngabisin waktu 3 jam buat PP rumah-kantor, kondisi para penghuni jalanan ini kadang bikin risih. Tapi kadang ngeliat mereka di jalanan juga bisa bikin tambah menikmati hidup.

Lha wong mereka yang hidup di jalan aja masih bisa ketawa dan bahagia?, masak kita yang sempurna, punya kehidupan "lebih baik", punya kendaraan baru, punya istri cantik, punya gaji lebih tinggi masih gak bisa menikmati hidup.

jadi inget kalimat bagus dari kaskus:

Kalau kita sering makan di restoran mewah, sekali-kali makanlah di warung kecil terminal.

Kalau kita sering pergi dengan mobil mewah, sekali-kalilah pergi pake angkot atau bajaj

Kalau kita sering belanja di mall megah, sekali-kali belanjalah di pasar kecil

Kalau kita sering berpesta-pora, sekali kalilah datang ke kotak amal masjid

Kalau kita punya pendidikan S3, sekali kalilah kunjungi sekolah luar biasa

Kalau kita punya keluarga kaya raya dan sempurna, sekali-kalilah datang ke panti asuhan

Kalaupun semuanya kita lakukan, bukan untuk menunjukkan kalau kita peduli.

tapi lebih sekedar untuk melembutkan hati.

masih di bej twr.21

04.52