Sabtu, 13 Februari 2010

tentang singkong kami

Kami lima bersaudara. Saya anak kedua, dengan kakak laki-laki dan adik perempuan 2 orang dan sisanya laki-laki. Dalam sebuah keluarga yang sederhana kami bertahan hidup dan menjalani keseharian kami.
Keluarga kami hidup dengan sederhana. Ayah kami “terpaksa” mendapatkan pensiun dini di usianya yang masih terbilang muda, sekitar 42 tahun. Kantornya, tempat kami semua bergantung, dibeli penguasa cendana dan mengharuskan kami untuk pindah rumah dan memulai kehidupan baru. 
Dengan lima orang anak yang semuanya tumbuh besar dan butuh sekolah, tentunya orang tua kami harus berpikir keras bagaimana mewujudkan semuanya. Awalnya kami shock, bukan hanya karena rumah kami mendadak sangat jauh dari sekolah, tapi juga mendadak semua berubah, termasuk melihat ayah yang kehilangan pekerjaan.
Ayah memutuskan untuk menggunakan uang pesangon dari kantornya untuk membangun rumah. Sebelum kami lahir, Ayah punya tabungan berupa tanah sekitar empat ratus meter persegi. 
Letaknya?
Jangan ditanya. Jangankan untuk menginap, untuk sesekali menengok pun, kadang kami malas sekali. Tapi Ayah dan Ibu berkeras untuk meneruskan pembangunan rumah kami, yang memang sedikit demi sedikit akhirnya jadi juga.
Orangtua kami memutuskan untuk menempati rumah yang baru, daripada ngontrak rumah, malah duitnya abis gak tau kemana.., begitu kata Ibu.
Statusnya memang rumah baru. Karena baru kali itu kami tempati. 
Apa sudah jadi?? 
Ahhh…Jangan Tanya.
Separuh jadi pun tidak. Kata ayah, yang penting sudah ada gentengnya, paling gak kalo hujan kita gak kehujanan dan kedinginan.
Baiklah kami menyerah. Waktu itu malam tahun baru tahun 1992. Dan Saya masih kelas empat SD.
Kalaupun mau berontak, trus mau tidur dimana, lha wong rumah lama kami sudah dihancurkan saat kami pulang dari sekolah.
Di rumah kami yang baru ini, kami menghabiskan hari-hari.
Waktu berjalan cepat sekali. 
Ayah masih belum mendapat pekerjaan yang tetap, kalau dibayangkan bagaimana kami bisa hidup,kalo Ayah tidak punya gaji?.
Tapi toh kami tetap hidup dengan prinsip apa adanya.
Rumah kami cukup besar. Tanahnya juga lapang. Dari kecil kami diajarkan untuk menanam banyak tanaman di halaman depan dan belakang.
Di halaman depan rumah, ayah sengaja menanam banyak pohon singkong. Dan setiap sore kami bertugas menyiram semua tanamannya.
Kenapa singkong?
Ayah bilang biar cepet diambil hasilnya. Lumayan kalo ada yang mau beli juga bisa dijual. 
Benar saja, mungkin karena tanah di sekitar rumah kami subur, makanya pohon singkong di depan rumah kami cepat tumbuh dan tentu saja, menyembunyikan singkong di bagian bawahnya.
Singkong ini benar-benar membawa berkah. Kalau pulang sekolah, kami hanya sempat makan siang, tanpa tambahan snack atau makanan kecil lainnya.
Kalau kondisinya sudah seperti ini, perut yang bicara. Kami sering konsolidasi dengan adik-adik terutama yang laki-laki, kita ngambil singkong yuk??.
Sebagai kakak, Saya tahu kalau adik-adik juga sering lapar kalau sore. Mau jajan pun, kami tak tega minta uang ke orang tua. Sudahlah gak apa apa.
Kalau hari sudah menjelang sore, kami ambil alat seadanya, ember dan gayung. Pelan-pela kami gali bagian bawah pohon singkongnya. Satu persatu kami cabut singkongnya, apalagi kalau sudah besar, ujung pohung atau singkong pasti ada yang sedikit mencuat keluar.
Tapi kami harus menjaga supaya pohonnya tetap hidup dan tegak berdiri, kalau tidak bisa habis kami dimarahi Ayah.
Kami hanya mengambil secukupnya. Yang penting bisa untuk kami makan berlima. Kebetulan Saya bukan orang yang senang tidur siang, walaupun sudah disuruh tidurpun, saya tetap ngeyel untuk bangun dan kadang jalan-jalan.
Nah karena keseringan main inilah, makanya kalau menjelang sore kelaparan itu sering melanda. 
Ahhh…beberapa biji bonggol singkong cukup nikmat untuk sekedar dibakar atau digoreng. Adik-adik sayapun ikut mengamini.
Kami bagi-bagi tugas. Saya mencabut dan merapikan tanah bekas galian singkong. Adik-adik mencuci dan merendamnya dengan air garam. Hanya air garam bumbu yang kami pakai. Yang penting rasanya gak hambar. Itu saja.
Saya bertugas untuk menggoreng dan mengolahnya sampai matang. Adik-adik tentunya sudah menunggu sambil nonton tivi. 
Kalau singkong itu matang, tak terbayang bagaimana raut muka mereka. Mungkin juga lapar Karena pulang sekolah. Tapi yang pasti Saya melihat kebahagiaan di mata mereka, walaupun hanya sekedar sepiring singkong goreng sederhana.
Kenangan singkong ini yang membuat saya bertahan untuk tetap sekolah dan mencapai impian juga cita-cita, menjadi insinyur, kerja di tempat yang bagus, punya uang banyak supaya bisa bantu biaya sekolahnya adik-adik.
Singkong di halaman depan rumah kami menjadikan kami pribadi yang kuat. Tak peduli kalau batangnya hanya berukuran beberapa senti tapi akarnya bisa sangat besar menunjam dan untungnya, bisa dimakan.
Hari ini, kangen rasanya melihat singkong itu terus tumbuh.
Sayang, pohonnya sudah dipotong dan halamannya sudah dibangun sebuah toko kecil milik kami.
Kenangan singkong membuat saya terus punya tekad untuk mewujudkan mimpi, menyekolahkan adik-adik, sampai mereka sarjana.
Rasanya, setiap awal bulan saya kirimkan sejumlah uang untuk hidup mereka, terbayang raut wajah mereka yang sangat bahagia, sama halnya ketika menunggu sepiring singkong goreng tersaji di depan meja.
Dulu Sekali.  

                                                                                                                                                                                                                                                                                                  Malam wikend
                                                                                                                                                                                                                                                     Sambil tetap menunggunya online



Tidak ada komentar:

Posting Komentar